5 Kecelakaan Pesawat Paling Mengerikan di Indonesia – Setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, pesawat Sriwijaya Airlines mengalami kecelakaan pada 9 Januari 2021 (Sabtu) sekitar pukul 14.40 WIB di dekat Pulau Male, Kepulauan Kuril di Jakarta.
5 Kecelakaan Pesawat Paling Mengerikan di Indonesia
nocompromise – Jatuhnya Penerbangan SJ-182 menuju Pontianak di Kalimantan Barat menambah daftar kecelakaan pesawat komersial di Indonesia yang menewaskan ratusan ribu orang.
Baru-baru ini, sekitar dua tahun lalu, sebuah pesawat milik Lion Air penerbangan JT-610 jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, menewaskan 189 penumpang dan awak. Berikut ini adalah 5 Kecelakaan Pesawat Terburuk di Indonesia sebelum Sriwijaya Air jatuh:
1. Lion Air JT-610 di Karawang, Jawa Barat pada 2018
Pagi tanggal 29 Oktober 2018 penuh dengan berita yang mengejutkan. Pesawat Lion Air PK-LQP tersebut jatuh di Laut Jawa sebelah utara Karawang, Jawa Barat.
Pilot Bhavye Suneja dan co-pilot Harvino mengambil penerbangan JT 610 dari Bandara Soekarno-Hatta ke Bandara Depati Amir di Pangkalpinang.
Pesawat lepas landas pukul 06.20 WIB dan mengangkut 189 orang, termasuk pilot, co-pilot, lima pramugari, dan penumpang. Di antara penumpang tersebut, terdapat 20 pegawai Kementerian Keuangan, 6 anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung, 3 jaksa, dan 1 pejabat tata usaha Pengadilan Tinggi Bangka Belitung. Ada ayah dan anak, penggemar sepak bola dan kerabat di pesawat itu.
Pukul 06.22 WIB, pesawat menginformasikan ada masalah flight control.
Pesawat telah meminta untuk kembali ke bandara asal, yaitu kembali ke pangkalan. Badan layanan navigasi udara AirNav membuka jalan. Namun, pada pukul 06.32 WIB, pesawat hilang kontak di perairan Karawang.
Pada Senin (29/10/2018), Humas Airnav Indonesia Yohanes Sirait mengatakan kepada detikcom: “ Pesawat Lion JT 610 memang hilang kontak, dan informasinya sudah kami sampaikan kepada tim SAR. ”
Pesawat hilang kontak dan jatuh dari ketinggian 3.000 kaki di perairan Karawang.
Pencarian dimulai
Saat ditemukan Pesawat Jatuh di kawasan itu, Badan SAR Nasional (Basarnas) menyelinap ke perairan Karawang. Tiga kapal dan satu helikopter dikerahkan.
Sekitar pukul 09.40 WIB, Basarnas menginformasikan bahwa lokasi jatuhnya sudah terkonfirmasi. Burung besi itu jatuh hingga kedalaman 30-35 meter di dasar laut.
Ketika saya mengunjungi lokasi kecelakaan untuk pertama kalinya, saya menemukan puing-puing di permukaan.
Selain itu, tiga helikopter dan empat perahu milik polisi dikerahkan untuk membantu pencarian. Puluhan nelayan Karawang membantu pencarian. Di darat, puluhan ambulans disiagakan.
Mulai dari hari pertama, Basarnas menetapkan waktu pencarian menjadi 7 hari.
Dia berkata: “Kami melakukan apa yang kami bisa lakukan untuk menemukan dan menyelamatkan semua korban, dan berharap untuk menemukan para korban secepat mungkin. Saya merasa bahwa semua keluarga korban sangat khawatir, tetapi kami berharap keluarga korban dapat tenang. tunggu SAR. Tim sedang bekerja keras di lokasi., “kata Ketua BNDCC Jokowi di Nusa Dua, Bali hari itu.
Mengambil tas jenazah, membawa bagian tubuh korban, dan membawanya ke Pelabuhan Tanjung Pruek, dan meneruskannya ke RS Polri Klamath Jati.
“Prediksi saya tidak ada yang selamat. Karena korban hanya menemukan sedikit bangkai kapal dan belum tuntas,” kata Bashar Nas Bashar Nas Brigjen Banban Suri Aji, Korps Jenderal Marinir, di Kemayoran, Jakarta Pusat. hari pertama. Cari di sore hari. Basarnas melakukan pencarian selama 24 jam.
Mencari kotak hitam
Badan Evaluasi dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengerahkan kapal riset (KR) Baruna Jaya I yang memiliki alat pencarian black box, antara lain CVR (perekam suara kokpit) dan FDR (perekam data penerbangan).
Multi-beam echo sounder, digunakan untuk melakukan pemetaan fitur biologi laut. Yang kedua adalah sonar pemindaian samping. Prinsip alat ini mirip dengan “multibeam echo sonar”, namun memiliki jangkauan dan fungsi tertentu untuk melakukan pemetaan yang lebih jelas. Yang ketiga adalah Megato Meter atau alat pendeteksi logam.
Yang keempat adalah kendaraan kendali jarak jauh (ROV). Alat ini merupakan kendaraan bawah air yang dikendalikan dari jarak jauh yang menampilkan gambar video dasar laut secara real-time. Gunakan alat ini untuk mencari objek di dasar laut dengan lebih cepat.
Pada tanggal 30 Oktober, seiring arus laut bergerak ke timur, jangkauan pencarian diperluas ke Indramayu. Sebanyak 854 personel gabungan TNI / Polri dan relawan masyarakat dari Pasana di pos pantai Tanjong Pakis, Provinsi Karawang.
Baca juga : 6 Aksi Pembunuhan Sadis di Indonesia
2. AirAsia QZ8501 di perairan Kalimantan Tengah pada 2014
Sebuah pesawat AirAsia dengan kode penerbangan QZ8501 jatuh. Pesawat tersebut terbang dari Surabaya menuju Singapura pada pukul 55:36 pada tanggal 28 Desember 2014 (Minggu), mengikuti rute biasa yaitu M635. Pesawat AirAsia A 320-200 dikemudikan oleh pilot Irianto dan co-pilot Remi Emmanuel Plesel.
Pesawat tersebut meluncurkan Harian Kompas pada 29 Desember 2014 dan melakukan kontak terakhir dengan ATC Jakarta. Saat itu, pilot diminta menghindar ke kiri dan meminta izin untuk mendaki dari ketinggian 32.000 kaki ke ketinggian 38.000 kaki. ATC telah menyetujui permintaan untuk menghindar ke kiri, tetapi belum menyetujui permintaan untuk naik ke ketinggian 38.000 kaki. Kontak terakhir antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan. Pukul 06.17 dini hari, pesawat hanya memiliki satu sinyal di radar ATC.
Pesawat AirAsia QZ8501 dapat membawa 155 penumpang, termasuk 138 dewasa, 16 anak-anak dan 1 bayi. Pukul 18.18 WIB diketahui pesawat hilang kontak dengan pengawas lalu lintas udara. Sebelumnya, pesawat sedianya dijadwalkan tiba di Singapura pada pukul 06.57 WIB.
Untuk memastikan keberadaan pesawat tersebut, pemerintah melakukan pencarian besar-besaran setelah pesawat kehilangan kontak.
Selain itu, pencarian juga memungkinkan BPPT ikut serta dalam penyebaran kapal penelitian untuk memetakan kondisi dasar laut. Nelayan di kawasan Belitung Timur pun turut serta membantu mencari puing pesawat atau barang penumpang.
Grup dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pun turut membantu pencarian pesawat tersebut. Armada dari negara tetangga termasuk 2 pesawat Hercules dan 5 kapal.
Hampir setahun setelah hilangnya pesawat AirAsia QZ8501, Komisi Keselamatan Transportasi Nasional (NTSC) merilis temuan tersebut. Setelah kotak hitam kecelakaan pesawat ditemukan di perairan dekat Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah, maka dilakukan penyelidikan. Menurut KNKT, ada banyak faktor penyebab kecelakaan.
Pukul 06.01 WIB, pilot mendeteksi gangguan melalui rambu peringatan. Gangguan tersebut terjadi pada sistem Rudder Travel Limiter (RTL) yang terletak di bagian ekor pesawat pilot untuk mengatasi gangguan tersebut dengan mengikuti prosedur pada Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM).
Pelecehan yang sama terjadi pada pukul 6:09 pagi, jadi pilot mengikuti prosedur yang sama. Empat menit setelah gangguan kedua, gangguan yang sama dan tanda peringatan yang sama muncul lagi.
Pilot kembali ke prosedur menurut ECAM. Namun, dua menit kemudian, masalah yang sama kembali terjadi. Selama pelecehan keempat, pilot mengubah tindakannya dengan tidak mengikuti prosedur ECAM. Untuk ketiga penyakit sebelumnya, permasalahan yang terjadi berbeda.
Saat itu teknisi penerbangan melakukan reset circuit breaker (CB) pada flight enhancement computer (FAC). Kemungkinan pilot QZ8501 mengatur ulang CB untuk mengatasi gangguan dengan RTL. Ternyata FAC 1 dan 2 yang dinonaktifkan ini.
Setelah kedua komputer tidak aktif, kendali pesawat berubah dari common law menjadi standby law. Dengan kata lain flight control tidak lagi autopilot, melainkan dilakukan secara manual. Setelah itu, pesawat kehilangan kendali dan terbalik.
Setelah di input, pesawat yang terbalik dapat kembali normal. Pada ketinggian pesawat saat ini, badan pesawat kembali ke posisi normalnya, namun berada di luar kendali pilot hingga jatuh ke laut.
3. Garuda Indonesia GA-152 di Deli Serdang, Sumut pada 1997
Pada Sabtu (9/1/2021), penerbangan Sriwijaya Air SJ-182 mengalami kecelakaan yang memecahkan rekor Indonesia Airlines. Menurut data Aviation Safety Net, sejak 1945 hingga 2021 (Januari), 104 kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia.
Banyaknya kecelakaan penerbangan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling mematikan di pasar penerbangan global, mengungguli Rusia, Iran dan Pakistan. Di antara tragedi tersebut, kecelakaan pesawat terparah di Indonesia terjadi pada 26 September 1997 yang disebut tragedi Eagle 152 yang menewaskan 234 penumpang.
Pesawat Garuda nomor 152 ini diberangkatkan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Bandara Internasional Polonia Medan (sekarang Pangkalan TNI AU Suwando). Pesawat Garuda 152 berangkat dari Jakarta, take off pada pukul 11.41 WIB, dan diharapkan tiba pukul 13.41 WIB.
Siapa sangka di hari yang sama ketika mereka berdekatan, ada dua pesawat dengan nomor penerbangan yang sama: Mercati 152 dan Garuda 152, yang membingungkan para pengatur lalu lintas udara di Medan.
Dari laporan kecelakaan Badan Keselamatan Transportasi Nasional (2004), dalam transkrip itu tercatat kerancuan pengawas lalu lintas udara soal nomor penerbangan kedua pesawat tersebut. Pemandu lalu lintas udara memberikan instruksi panggilan yang salah, yang seharusnya dikirim ke Garuda 152, tetapi biasa menelepon Merpati 152 (halaman 37-38).
Pada tanggal 26 September 1997, Kota Medan diselimuti asap akibat kebakaran hutan di Provinsi Riau. Situasi ini membuat pilot dan pengawas lalu lintas udara semakin sulit untuk melihat landasan pacu.
Saat pesawat mendarat di Medan, 11 menit sebelum mendarat di Bandara Internasional Bologna, komunikasi antara awak dan pengawas lalu lintas udara tidak lancar. Akibat cuaca buruk dan awan tebal, pengawas lalu lintas bingung apakah Garuda 152 itu belok kanan atau kiri.
Akhirnya pada pukul 13.30 10 detik kemudian, sebuah pesawat Garuda Airbus A300-B4 jatuh di kawasan hutan Desa Buah Nabar, Deli, Serdang, Sumatera Utara, alasannya karena petunjuk lalu lintas tidak jelas, jadi pilotnya mungkin salah paham. Perintah.
Di lokasi kecelakaan, sayap kiri pesawat terbang rendah dan menabrak pepohonan di perbukitan Desa Buah Nabar. Ini membuktikan bahwa pilot membelokkan pesawat ke kiri, bukan berbelok ke kanan seperti yang diinstruksikan oleh pengawas lalu lintas udara.
Akibat kecelakaan tersebut, pesawat Garuda 152 mengalami kerusakan parah di ketinggian 1.150 kaki, meledak dan terbakar.
Semua 234 penumpang, termasuk 12 anggota awak, tewas. Empat puluh delapan mayat ditemukan hangus dan tidak terbaca, dan sisanya dikembalikan ke keluarga mereka.
Di antara total penumpang, selain Indonesia, terdapat dua warga Kanada, dua Inggris, enam Malaysia, empat Jerman, dua Amerika dan satu Perancis.
4. Mandala Airlines RI 091 di Medan, 2005
Kecelakaan penerbangan Sriwijaya Air pada Sabtu (9/1/2021) kembali menyebabkan rekor buruk Indonesia Airlines.
Menurut statistik Aviation Safety Net, dari tahun 1945 hingga 2021 (Januari), 104 kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia.
Banyaknya kecelakaan penerbangan menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling mematikan di pasar penerbangan global, mengungguli Rusia, Iran dan Pakistan. Oleh karena itu, dikatakan seperti Reuters.
Di antara tragedi tersebut, pada tanggal 5 September 2005, ketika penerbangan RI-091 Mandala Airlines lepas landas dari Bandara Internasional Polonia Medan (sekarang Pangkalan Udara Soewondo), terjadi insiden di Indonesia, kecelakaan pesawat tragis.
Tak sempat lepas landas, Burung Besi Mandala 091 rute Medan-Jakarta gagal lepas landas pukul 10.15 WIB. Jelas, alat penutup dan bilah tidak berfungsi dengan baik.
Pilot tidak membatalkan pekerjaannya, tetapi terus berusaha lepas landas. Alhasil, pesawat Mandala 091 itu terdesak masuk ke kawasan pemukiman Padang Bulan di Medan.
Pesawat Boeing 737-200 produksi 1981 itu menabrak pagar landasan pacu dan melewati Sungai Babura hingga meledak saat didorong ke dalam rumah padat penduduk di Jalan Jamin Ginting, Padang Bran.
Pasca kecelakaan tersebut, beredar rumor bahwa salah satu penyebabnya adalah pesawat tersebut kelebihan muatan. Hal ini disebabkan adanya dua ton buah durian yang hampir melebihi batas maksimal yang bisa dibawa oleh sebuah pesawat terbang.
Namun, laporan investigasi Komisi Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT) membantahnya. KNKT menyatakan kargo pesawat Mandala 091 tidak melebihi batas muatan maksimum.
Ada banyak kemungkinan penyebab pesawat jatuh, diantaranya kegagalan alat bantu angkat pesawat, atau prosedur inspeksi yang tidak memenuhi persyaratan sehingga kondisi alat bantu angkat (flap) tidak dapat diperiksa dengan baik.
Akibat kecelakaan tersebut, sedikitnya 7 rumah rusak berat dan terbakar, serta 7 mobil dan 10 pengemudi serta sepeda motor yang diparkir tertimpa puing pesawat.
Menurut catatan kepolisian DVI, menurut catatan, 99 dari 117 penumpang tewas, termasuk 8 awak kapal. Sebanyak 18 korban lainnya mendapat perawatan intensif di RS H. Adam Malik.
Selain penumpang, saat terdorong sejauh 500 meter dari landasan pacu, warga pemukiman juga terkena imbasnya.
Sekitar 44 orang tewas dalam kecelakaan itu. Korban meninggal sebanyak 143 orang.
Selain itu, proses evakuasi kecelakaan juga terhalang oleh beberapa kendala. Pertama, hujan deras yang membuat para petugas kesulitan, namun di saat yang sama, hujan deras membantu memadamkan api dan bekas darah para korban.
Kedua, karena tidak ada penjagaan, polisi tidak bisa menangani TKP dengan lancar. Selain itu, masyarakat juga berbondong-bondong melihat lokasi kejadian sehingga warga akan terusik saat mengevakuasi para korban.
Bahkan setelah jenazah dikirim ke rumah sakit, anggota keluarga korban datang dan sulit untuk mengikuti prosedur yang ada dengan mereka. Setelah perdebatan panjang antara keluarga Xitanggang dan keluarga Siturus, akhirnya keluarga Xitanggang membawa pulang jenazah tersebut dan diberi nama Rohida Rumbanlaja.
Setelah mengidentifikasi para korban, diketahui bahwa korban kecelakaan pesawat Mandala 091 termasuk Gubernur Sumatera Utara (Tengku Rizal Nurdin) saat itu dan mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, yang saat itu menjadi anggota DPRD Provinsi Utara. Sumatra, dan rekan-rekannya, Abdul Halim Harahap.
Baca juga : 5 Kecelakan Terbesar Pesawat Dalam Penerbangan Dunia Yang Terjadi Pada Tahun 90 an
5. Adam Air KI-574 di Selat Makassar pada 2007
Fajar 2007 baru saja pecah beberapa jam yang lalu. Di Surabaya, 96 penumpang dan 6 awak Adam Air KI-574 terbang ke Manado. Pesawat berangkat pukul 12.55 WIB. Pesawat harus tiba di Bandara Sam Ratulangi pukul 16.14 Wita.
Pukul 14.00 WITA, kabar mengejutkan datang: pesawat hilang kontak dengan Air Traffic Control (ATC) Bandara Hassanuddin Makassar. Pada saat kontak terakhir, pesawat diposisikan 85 mil laut barat laut Kota Makassar di ketinggian 35.000 kaki. Pada tanggal 1 Januari, salah satu tragedi transportasi terbesar terjadi di Indonesia.
Pencarian dimulai. Disertai kebingungan informasi. Keesokan harinya, diberitakan sebuah pesawat Adam Air ditemukan di daerah perbukitan di distrik Matangnga, Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat.
Kabar ditemukannya penerbangan Adam Air KI-574 ini berasal dari laporan warga Desa Langoan kepada Kepala Desa setempat. Warga mengaku melihat pesawat terbang di ketinggian rendah dan menghilang setelah asap berserakan, dan melihat pesawat tersebut sekitar pukul 17.00 WITA. Laporan warga ini dikirim langsung ke pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti.
Tim Search and Rescue (SAR) mendatangi lokasi dan berkoordinasi dengan warga sekitar untuk mencari pesawat Adam Air. Petugas polisi Sulawesi Barat dan 700 anggota Badan SAR Nasional memilah tempat kejadian.
Beberapa saat kemudian, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa membenarkan kabar ditemukannya pesawat Adam Air itu tidak benar. Menteri Perhubungan saat itu, Hatta Rajasa, mengatakan: “Data ini sama sekali tidak benar.” Pada 3 Januari 2007, pada 27 Agustus, ditemukan kotak hitam di perairan Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Selain perekam data penerbangan (FDR), perekam suara kokpit (CVR) dengan kedalaman 2.000 meter juga ditemukan.
Badan Keselamatan Transportasi Nasional (KNKT) terus menggarap temuan ini. Akhirnya, pada 25 Maret 2008, KNKT mengumumkan hasil penyelidikannya. Awalnya, alat navigasi pesawat atau sistem referensi internal (IRS) mengalami kerusakan.
Menurut KNKT, kedua pilot itu fokus memperbaiki kerusakan tapi lupa memperhatikan instrumen lain. Mereka tidak memperhatikan bahwa pesawat miring ke arah laut dan turun. Mereka baru menyadarinya dua menit setelah pesawat itu jatuh ke laut. terlambat.
Mardjono menjelaskan, bahwa kerusakan IRS terjadi dalam 13 menit terakhir sebelum pesawat jatuh. Hasil perekam data penerbangan digital (DFDR) menunjukkan bahwa pesawat tersebut awalnya diterbangkan dengan bantuan kemudi otomatis. Namun, pengolahan IRS tidak sesuai dengan pedoman, sehingga kemudi otomatis pesawat tidak dapat bekerja dengan baik. Pesawat mulai miring.
Pada Agustus 2008, rekaman audio diedarkan di kokpit Adam Aviation KI-574, yang dikatakan sebagai percakapan terakhir. Jika catatan tersebut merupakan catatan asli, maka harus mengikuti rekomendasi National Transportation Safety Committee (KNKT), yang menyimpulkan bahwa kecelakaan akibat human error dianggap tidak berdasar dan salah.
Dari catatan, selain kegagalan IRS, ada alasan lain yang menjadi penyebab kecelakaan tersebut, yakni 102 orang penumpang pesawat Boeing 737-400 meninggal dunia. Karena itu, ini bukanlah human error.
Kementerian Perhubungan menyatakan, rekaman asli KNKT disimpan dalam kotak tertutup yang dirahasiakan dan berbentuk pita. Hal-hal yang beredar tidak orisinal, juga tidak orisinal.
Adam Air akhirnya tutup. Bukan karena situasi ini, tapi karena masalah bisnis. Ingatan publik atas tragedi ini tidak langsung hilang.